Putra NAKOGWE BILIGYR


NASIONAL
Politisi Asing Mengipasi Papua

Kombatan-kombatan Papua terpecah menjadi berbagai faksi. Ada yang menolak hasil KRP III dan emoh mengakui TPN/OPM. Belanda ikut andil memanaskan bumi cenderawasih?

Istana Kepresidenan gerah dengan koyaknya kedamaian di Papua. Serentetan aksi penembakan dan pergerakan kelompok separatis telah memancing perhatian dunia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun menunjuk Letjen (purnawirawan) Bambang Darmono menjadi Ketua Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B). Bambang adalah mantan Panglima Kodam Iskandar Muda ketika Aceh diberlakukan sebagai daerah operasi militer (DOM).

Namun pihak istana menolak jika disebut bahwa penunjukan Bambang itu akan mengulang Papua dan Papua Barat menjadi DOM. "Tidak untuk pendekatan militer karena presiden dengan tegas mengatakan hal itu," kata Velix V. Wanggai, staf khusus presiden bidang otonomi daerah, di Jakarta, Ahad lalu. Velix mengatakan, pengalaman Bambang di Aceh bisa diimplementasikan untuk menyelesaikan masalah yang ada di Papua.

"Mungkin inilah konteksnya presiden memberikan kepercayaan di Papua," katanya. Dalam waktu dekat, UP4B akan menjalin komunikasi dengan kelompok-kelompok strategis di Papua, termasuk Organisasi Papua Medeka (OPM). Velix akan mendampingi Bambang ketika melakukan dialog itu.

Namun pagi-pagi ajakan dialog itu ditolak kombatan di Papua. Tentara Revolusi West Papua (TRWP), melalui Sekretaris Jenderal, Letjen Amunggut Tabi, menyatakan bahwa urusan dialog adalah urusan politik. "TRWP tidak mengurus dialog. Kami terbatas pada visi/misi menentang penjajah dengan mengangkat senjata," tuturnya.

Bahkan Amunggut Tabi menyatakan bahwa TRWP bukan bagian dari Tentara Pembebasan Nasional-Organisasi Papuan Merdeka (TPN/OPM). "TPN/OPM sudah tidak berlaku. Tidak ada panglima TPN/OPM. Yang ada pada saat ini ialah TRWP dan OPM. Yang ada sekarang Panglima Revolusi TRWP, Jenderal Mathias Wenda," katanya. OPM sudah tidak bergerilya. OPM sekarang berpolitik.

Namun pernyataan Amungut Tabi itu ditolak pihak TPN/OPM. Sekjen Panglima TPN/OPM di Puncak Jaya, Letjen Anthon Tabuni, menyatakan bahwa mereka masih eksis. Bahkan dengan gagah dia mengatakan bahwa anggotanyalah yang menembak mati Kapolsek Mulia, AKP Dominngus Oktavianus Awes, 24 Oktober lalu. ''Jangan menuding pihak lain. Anggota saya yang menembak mati atas perintah panglima tertinggi, Jenderal Goliat Tabuni,'' ungkapnya kepada Gatra.

Anthon Tabuni yang mantan Guru SD Inpres Towagi, Kecamatan Ilaga, Kabupaten Puncak Jaya, dengan nomor NIP: 13751305 itu menegaskan bahwa kemerdekaan Papua adalah harga mati. Karena itu, serangkaian kasus penembakan, kecuali di Freeport, Timika, semuanya dilakukan anggota TPN/OPM. "Kami didukung secara moril dan materiil oleh simpatisan di luar negeri," katanya.

Dia mengklaim, sejumlah aksi belakangan ini dibantu tiga negara dari 46 simpatisan negara pendukung Papua Merdeka. Pendukung Papua Merdeka, antara lain, anggota parlemen Belanda dari Partai Pembebasan, Wim Kortenoeve. Partai Pembebasan mendesak agar Menteri Luar Negeri Belanda, Uri Rosenthal, segera mencari solusi untuk membantu perjuangan Papua Merdeka. ''Wah, Gatra kok tahu juga. Dari mana info itu. Siapa yang bocorkan? Yang pasti, Belanda termasuk satu negara yang mendukung perjuangan Papua Merdeka," kata Anthon Tabuni.

Namun Anthon menolak menjelaskan apakah Belanda berada di balik Kongres Rakyat Papua III (KRP III) yang berakhir rusuh itu. "Seberapa perannya, begitu pun bentuk dukungannya, rahasia dong,'' tuturnya. Tapi dia mengakui bahwa TPN/OPM menarik keuntungan dari korban tewas dalam kerusuhan itu. ''Sederhana saja, Bung Gatra. Sesuai dengan laporan Panglima Kodap III TPN/OPM Timika, Brigjen Daniel Kelly Kagoya (pengganti Mayjen Kelly Kwalik), pendukung Papua Merdeka di wilayah ini meningkat drastis. Keluarga para korban langsung bergabung," katanya.

Namun pimpinan TPN/OPM, Jenderal Goliat Tabuni, justru menolak hasil KRP III yang mengatasnamakan TPN/OPM dan Rakyat Papua dengan membuat negara federasi, mengangkat presiden dan wakil presiden, serta membentuk pemerintahan transisi. "Adalah tidak kredibel dan murni kontra-perjuangan dan kemerdekaan Papua Barat berbentuk republik dan berdaulat penuh," ia menegaskan.

TPN/OPM Papua Barat berjuang sejak 1961 sampai saat ini untuk negara merdeka. "Kami tidak mau negara federasi," katanya. Karena itu, dia menuding, elemen perjuangan Papua Merdeka mana pun tanpa sepengetahuan TPN/OPM adalah ilegal. "Kami menolak hasil yang didapat pada Konggres Rakyat Papua III, yang diadakan Dewan Adat Papua dan organ politik lainnya," ia menambahkan.

Deklarasi KRP III yang mendirikan negara Papua Barat dan mengakibatkan jatuh korban jiwa itu juga dikecam Komite Nasional Papua Barat (KNPB). "Deklarasi pembentukan negara Papua Barat itu adalah makar karena membentuk negara dalam negara,'' kata Buchtar Tabuni, Ketua KNPB. Buchtar Tabuni adalah mantan narapidana politik yang dijatuhi hukuman dua tahun penjara. Dia ditangkap pada saat aksi demo dengan membawa atribut Papua Merdeka, seperti bendera Bintang Kejora. Buchtar dibebaskan pada 17 Agustus lalu.

Menurut Buchtar, dasar hukum bahwa Papua adalah bagian integral dari NKRI adalah Pasal 2504 deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Selama pasal itu masih ada, selama itu pula Papua masih tetap bagian dari NKRI. "Sehingga kegiatan apa pun seperti deklarasi negara Papua Barat tetap kegiatan makar," katanya. Buchtar mengajak seluruh rakyat Papua untuk menggugurkan pasal itu dengan bukti-bukti sejarah.

Jika Pasal 2054 itu sudah gugur, maka Indonesia tidak punya alasan hukum untuk mempertahankan Papua sebagai bagian wilayahnya. Sehingga bisa dideklarasikan tanpa harus ada penangkapan, pembunuhan, atau masuk penjara karena tidak ada lagi alasan Indonesia untuk tetap di Papua. "Kami harus berjuang melalui proses hukum internasional dan politik," katanya.

Dalam KRP III yang dibubarkan itu, tiga orang tewas, yakni Danel Kadepa, Max Yewon, dan Yacob Samonsabra. Buchtar menyerukan agar dibentuk tim khusus independen untuk mengusutnya. Tentu dengan melibatkan aparat keamanan dan Komnas HAM lantaran terkait hilangnya nyawa. "Karena aparat salah dan panitia juga salah," ujarnya.

Sementara itu, soal penanganan kasus rusuh KRP III, 19 Oktober lalu, Kabid Humas Polda Papua, Kombes Wachyono, menyatakan belum ada penambahan tersangka. "Belum ada penambahan tersangka. Masih tetap, enam orang," kata Wachyono. Keenamnya adalah Forkorus Yoboisembut (Presiden Bangsa Papua Barat), Edison Gladius Waromi (Perdana Menteri), August Makbrawen, Dominikus Sorabut, Selpius Bobi (Ketua Panitia KRP III), dan Gat Wenda.

Menurut Amiruddin Al Rahab, Direktur Eksekutif Research Institute for Democracy and Peace, rangkaian peristiwa di Papua merupakan tiga peristiwa yang berbeda, berjauhan, dan dalam konteks yang berbeda. Gerakan politik perlawanan dan proses politisasi isu-isu di Papua memiliki keterkaitan. "Itu ekspresi kekecewaan terhadap Freeport, pemerintah yang kurang baik, sekaligus sebagai upaya memanfaatkan keadaan," katanya.

"Analisis saya, semua itu memanfaatkan momentum yang terjadi di Freeport," ujarnya. Aktivis politik Papua paham betul kondisi ini sejak dulu. Freeport menjadi semacam kotak pandora yang bila terbuka akan mengeluarkan masalah-masalah baru. "Sekali masalah di Freeport, yang lain pasti ikut muncul," tuturnya.

Ia mencatat, dalam operasi perdana Freeport pada 1971, Seth Rumkorem, pemimpin TPN pada saat itu, menyerukan proklamasi kemerdekaan Papua Barat.
Editor oleh by WENDANAK GILIM ENACK


Komentar

Postingan populer dari blog ini

INFORMASI PENERIMAAN ONLINE MAHASISWA BARU 2017-2018

Kali ini saya akan posting. mengenai suku suku kanibal.