BERANDA » 2014 » OKTOBER Monthly Archives: Oktober 2014 Angola Menjual Minyak ke Jokowi, Freeport di Tanah Papua Masih Berdarah


BERANDA » 2014 » OKTOBER

Monthly Archives: Oktober 2014

Angola Menjual Minyak ke Jokowi, Freeport di Tanah Papua Masih Berdarah

Papua masih berdarah
Senator Tanah Papua: Presiden Joko Widodo menandatangani perjanjian pembelian minyak dengan Wakil Presiden Republik Angola, Manual Domingos Vicente di Istana Kepresidenan. Pemerintah mengklaim bahwa kerja sama pembelian minyak dengan Anggola tersebut dapat menghemat belanja negara untuk memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri sebesar US$ 2,5 Juta per hari, atau kurang lebih menghemat anggaran sebesar Rp 15 triliun per tahun.
Dilihat dari segi kepentingan Indonesia, langkah pembelian minyak ke Republik Angola merupakan langkah strategis dan penting untuk memenuhi ketahanan energi fosil di Indonesia. Namun dibalik keberhasilan perjanjian kerja sama tersebut, Republik Angola justru telah menunjukkan diri sebagai negeri yang berhasil membangun diplomasi perdagangan yang menguntungkan bagi negaranya, dengan mengingat negara Angola selama ini di landa konflik berdarah yang berkepanjangan dan berdiri ditengah-tengah kepentingan negeri asing.
Bertahun tahun lamanya Republik Angola mengalami perang sipil yang mengakibatkan setidaknya 500.000 anggota milisi dan tentara tewas, serta ratusan ribu jiwa penduduk sipil yang turut serta menjadi korban jiwa atas konflik berkepanjangan yang terjadi di negeri berlian dan emas hitam tersebut.
Perang saudara yang dimulai pada tahun 1975 di Angola, membawa kondisi negara yang kaya tersebut kedalam kekacauan dan menimbulkan krisis kemanusian yang sangat serius. Sumber daya alam yang menjadi andalan negeri Angola seperti berlian dan minyak bumi jatuh ke pasar-pasar gelap dunia, termasuk sebagian besar pasar berlian masuk ke wilayah Eropa.
Sejak awal konflik berdarah, Negara Angola berada dalam cengkeraman kepentingan negara-negara asing seperti Amerika Serikat dan Uni Soviet. Perang saudara berkepanjangan di negara Angola, terjadi antara dua faksi bersenjata yaitu MPLA dan FNLA-UNITA. Faksi bersenjata MPLA yang mendirikan Republik Rakyat Angola merupakan faksi bersenjata ber-ideologi komunis yang di dukung oleh Uni Soviet. Sedangkan Faksi bersenjata FNLA-UNITA yang bermarkas di Angola Timur mendirikan pemerintahan yang ber-ideologi demokrasi yang di dukung oleh Amerika Serikat.
Dalam perjalanan konflik yang berkepanjangan tersebut, pada akhirnya MPLA berhasil mengalahkan sepenuhnya perlawanan UNITA ketika pada tahun 2002 pemimpin UNITA, Jonas Savimbi terbunuh oleh pasukan MPLA.  Praktis hingga tahun 2014 saat ini, Republik Angola baru menjalani 12 tahun masa-masa damai tanpa pergolakan perang saudara.
Dalam kurun waktu satu dekade, negeri yang dulunya tercabik-cabik oleh perang saudara, dan di dominasi oleh kepentingan asing yang turut campur dalam urusan dalam negerinya, kini berhasil membangun kedaulatan dalam negerinya dengan mendorong sejumlah perjanjian perdagangan dengan negara luar, termasuk apa yang telah disepakati antara Indonesia dan Republik Angola dalam pembelian minyak di negaranya.
Negeri Angola dulu berdarah, namun kini menjadi negeri terkaya di Afrika. Lain padang lain ilalang, lain lubuk lain ikannya, Tanah Papua setelah 45 Tahun bergabung dalam unifikasi bersama Republik Indonesia, kondisinya masih berdarah-darah
Kembali ke persoalan dalam negeri, unifikasi Tanah Papua ke pangkuan Republik Indonesia telah berlangsung selama 45 tahun lamanya. Unifikasi ini ditandai dengan dilaksanakannya referendum rakyat Papua untuk bergabung kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui PEPERA di tahun 1969 dan hasil Pepera tersebut di akui oleh sidang umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Namun setelah unifikasi tersebut, kondisi Tanah Papua hingga hari ini masih diliputi oleh konflik bersenjata yang belum juga berakhir. Konflik ini mengalami pasang surut seiring dengan pergantian kebijakan rezim berkuasa di Jakarta “Pemerintah Pusat”.
Persoalan mendasar yang dialami oleh rakyat di Tanah Papua adalah permasalahan kemiskinan, ketertinggalan, keterisolasian, kebodohan, dan penghisapan sumber daya alam yang sangat luar biasa oleh kepentingan asing.
Persoalan ini lalu mendorong putera-puteri Tanah Papua yang peduli akan nasib bangsa dan tanahnya untuk bangkit menyuarakan keadilan dan tuntutan kepada Jakarta. Namun sikap kritis tersebut justru dipandang sebagai ancaman bagi kepentingan negara.
Suara-suara kritis dari Tanah Papua, yang tidak mendapatkan tempat dalam jalur diplomasi pemerintahan, terpaksa mencari jalan keluar melalui pergerakan sipil bersenjata. Kondisi ini semakin menancapkan pengaruh militer di Tanah Papua, dengan diterapkannya daerah operasi militer di Tanah Papua.
Sejarah militerisme di Tanah Papua, telah berlangsung sudah sangat lama, terhitung sejak operasi militer Trikora di kumandangkan oleh Soekarno. Namun di belakang hari, setelah rezim Soekarno berganti, keberadaan militer di Tanah Papua justru telah berevolusi menjadi operasi kepentingan asing “pengamanan bisnis dan unit usaha asing”.
Kekayaan alam di Tanah Papua pada gilirannya menjadi “Malapetaka dan Bencana” bagi rakyat sipil di Tanah Papua. Perebutan kepentingan asing dan Pemerintah Pusat menjadikan masyarakat asli di Tanah Papua hanya sebagai objek rebutan “kekuasaan”.
Setiap diplomasi antara kepentingan asing dan Pemerintah Indonesia, selalu mengabaikan kepentingan masyarakat asli di Tanah Papua, termasuk rencana pembangunan smeltel PT. Freeport di luar Tanah Papua yang telah masuk dalam agenda perpanjangan kontrak PT. Freeport beberapa tahun mendatang.
Jika Pemerintah Pusat, di Jakarta, menyadari sepenuhnya bahwa konflik di Tanah Papua berakar dari persoalan kesenjangan dan kemiskinan, maka kehadiran beribu-ribu hingga ratusan ribu anggota militer di Tanah Papua tidaklah diperlukan, kecuali hanya sebagai penjaga batas wilayah teritorial Republik. Kehadiran militer di Tanah Papua hanya mempertajam permusuhan antara masyarakat asli di Tanah Papua dengan Pemerintah Pusat “Jakarta”.
Sadar dengan potensi Tanah Papua yang sangat kaya, perjuangan untuk menemukan keadilan bagi rakyat dan Tanah di bumi Papua terus disuarakan oleh segenap putera-puteri terbaik dari Tanah Papua. Apa yang dibanggakan oleh Republik Angola yang berhasil melakukan diplomasi perdagangan melalui trading minyak secara langsung ke negara pembeli potensial seperti Indonesia, adalah cita-cita yang sama ingin diperjuangkan oleh masyarakat asli di Tanah Papua.
Negeri Angola yang kaya dengan Berlian dan Minyak Bumi memiliki kemiripan nasib dengan negeri di Tanah Papua “memiliki emas kuning dan emas hitam”. Namun cita-cita berdikari dan berdaulat atas kekayaan alam di Tanah sendiri “bebas dari kepentingan asing”, rasanya masih dihadapkan pada sikap Pemerintah Pusat yang masih melanggengkan kekuatan militerisme di Tanah Papua.

Willem Wandik: Hentikan Kekerasan Militer di Tanah Papua

militer di Papua
Senator Tanah Papua: Aksi kekerasan yang melibatkan militer dan warga sipil di Tanah Papua tidaklah terjadi secara kebetulan. Tidak dipungkiri bisnis keamanan menjadi mata rantai dari setiap aksi kekerasan yang melibatkan militer di Tanah Papua.  Keterlibatan militer di Tanah Papua selama ini melibatkan kepentingan militer terhadap birokrasi dan dunia usaha di Tanah Papua.  
Sejumlah perusahaan asing di Tanah Papua dengan terang-terangan menggunakan aparat militer sebagai personil yang melayani kegiatan pengamanan, termasuk apa yang dilakukan oleh PT. Freeport. Penggunaan aparat militer bersenjata lengkap dilakukan untuk men-service sejumlah perusahaan asing, yang dananya tidak hanya dinikmati oleh personel militer yang terlibat dalam pengamanan, namun juga dinikmati oleh para komandan militer.
Kekerasan demi kekerasan dengan dalih keamanan negara selalu menjadi potret utama sikap Pemerintah menghadapi gejolak sosial masyarakat asli Papua. Cara-cara kekerasan telah menimbulkan kebencian yang luar biasa terhadap militer. Kekerasan di Tanah Papua hadir sebagai dampak dari pendekatan keamanan, dimana persoalan Papua selalu disikapi dengan model keamanan dan ancaman.
Lingkaran kekerasan tidak akan pernah berhenti jika Pemerintah Pusat masih melanggengkan pendekatan militeristik untuk merespon gejolak sosial di Tanah Papua. Diakui oleh kalangan masyarakat asli di Tanah Papua, kehadiran aparat militer yang massif di Tanah Papua, justru menimbulkan persepsi di dunia luar bahwa Papua dalam kondisi tidak aman. Banyak dari kalangan masyarakat asli justru merasa trauma dengan tindakan represif aparat militer. Kehadiran aparat militer di tengah-tengah masyarakat asli Papua justru menimbulkan suasana yang mencekam. 
Kehadiran Militer di Tanah Papua menimbulkan kekerasan fisik dan psikis. Kekerasan fisik di rasakan dengan adanya aktivitas operasi militer yang dapat mengancam nyawa warga sipil. Kekerasan psikis terjadi dengan adanya suasana yang dianggap tidak aman di tengah-tengah kehadiran aparat militer bersenjata lengkap.
Merespons konflik dengan pendekatan konflik hanya akan memperbesar situasi konflik dan tidak menyelesaikan masalah. Gejolak sosial yang muncul lebih disebabkan oleh ketidakpuasan dalam tata kelola negara. Papua merupakan daerah yang kaya sumber daya alam namun tingkat kesejahteraan dan pendidikannya jauh tertinggal.
Akar masalah yang dirasakan oleh rakyat di Tanah Papua, adalah permasalahan kronik terkait kesenjangan ekonomi dan sosial. Wilayah Tanah Papua pada hari ini masih dihadapkan pada persoalan regional yang sangat banyak. Pelaksanaan Otonomi Khusus yang dimaksudkan untuk meredam gejolak sosial, pada gilirannya tidak berhasil menghadirkan kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat asli di Tanah Papua. 
Pemerintah Pusat telah menciptakan dan memelihara monster paranoid dalam menghadapi gejolak sosial di Tanah Papua. Akibatnya benturan konflik “kekerasan bersenjata” selalu menjadi wajah dalam penyelesaian konflik yang menghadap-hadapkan masyarakat asli Papua dengan militer bersenjata lengkap.
Penggunaan kekerasan di Tanah Papua bukanlah menciptakan solusi, alih-alih menciptakan stabilitas dan kehidupan sosial yang damai, pendekatan militeristik justru semakin memperdalam relasi konflik yang terjadi.
Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo tidak boleh berdiam diri, dan wajib turun tangan memecahkan setiap simpul-simpul kekerasan yang melibatkan militer di Tanah Papua. Pemerintah Pusat tidak membutuhkan kekuatan militer untuk menghadapi gejolak sosial di Tanah Papua. Karena objek persoalan bukanlah persoalan keamanan tetapi permasalahan kesejahteraan dan kesenjangan.
Pendekatan keamanan dan militeristik selama ini hanya berfokus pada pengamanan teritorial dan kepentingan simbolik militer. Dengan justifikasi keamanan negara, Militer tidak segan-segan menembak mati warga sipil dengan dalih di curigai sebagai anggota OPM.
Model pendekatan keamanan tersebut, tidaklah menyentuh hati masyarakat asli di Tanah Papua. Pendekatan keamanan selama ini mengabaikan  “human security“/ “keamanan manusia di Tanah Papua”, dan justru menciptakan teror terhadap kemanusiaan.
Setiap tindakan militeristik tidak pernah mendapatkan respek dan simpati dari masyarakat asli di Tanah Papua. Kekerasan yang di lakukan oleh aparat bersenjata lengkap hanya semakin menguatkan simpul-simpul kebencian terhadap militer dan kebencian masyarakat asli terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Musuh negara di Tanah Papua bukanlah rakyat yang hidup dengan noken, hidup dengan koteka, hidup dengan kondisi keterisolasian, namun musuh negara sebenarnya adalah setiap penjarahan harta kekayaan rakyat di Tanah Papua yang di ambil oleh kepentingan asing, namun negara tidak kuasa melawannya.
Kemerdekaan yang di proklamirkan pada 17 Agustus 1945, bukanlah kemerdekaan dengan mempersenjatai personel militer di seluruh wilayah Nusantara. Kemerdekaan yang dicapai adalah berkat dukungan seluruh rakyat Indonesia, dengan permufakatan terkait konsensus kebangsaan tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat termasuk social justice bagi rakyat sipil di Tanah Papua.

Willem Wandik: Alasan Smelter PT. Freeport Wajib di Bangun di Tanah Papua

SONY DSC
Senator Tanah Papua: Persoalan pemerataan pembangunan di Tanah Papua selalu menjadi permasalahan yang tidak pernah tuntas di negeri ini. Kebutuhan Tanah Papua untuk maju dan mengejar banyak ketertinggalan pembangunan terasa tidak pernah mendapat tempat yang baik di sisi pemerintah pusat.
Kontribusi kekayaan alam Tanah Papua yang sangat besar bagi pemerintah pusat, dikembalikan dalam bentuk alokasi anggaran pembangunan daerah yang tidak sebanding dengan jumlah kekayaan yang di keruk dari perut bumi Tanah Papua.
Permasalahan yang mengganggu akal sehat masyarakat asli di Tanah Papua pun kembali menguat ketika rencana pembangunan industri hilirisasi pertambangan emas-tembaga PT. Freeport yang rencananya akan dibangun di luar Tanah Papua. Padahal di Tanah Papua sendiri, kebutuhan untuk pembangunan di berbagai sektor masih belum terpenuhi “defisit pembangunan yang kronik”.
Kementerian Perindustrian pernah mengumumkan pada triwulan III di Tahun 2012, sektor Industri mengalami pertumbuhan sebesar 7,3%, dan berkontribusi penting terhadap perekonomian nasional. Untuk memperkuat peran tersebut pemerintah menetapkan tiga program prioritas utama untuk terus memperkuat trend penguatan ekonomi nasional yang berbasis pada tiga program kerja yaitu: 1) Program Hilirisasi Industri Berbasis Agro, Migas, dan Bahan Tambang Mineral. 2) Program Peningkatan Daya Saing Industri Berbasis SDM, Pasar Domestik, dan Ekspor. 3) Program Pengembangan Industri Kecil dan Menengah dan lain sebagainya.
Pemerintah pusat sendiri selama ini menaruh perhatian penting terhadap program hilirisasi industri pertambangan sebagai tumpuan pertumbuhan eknomi nasional, namun mengapa pembangunan industri hilirisasi pertambangan PT. Freeport harus meninggalkan Tanah Papua. Padahal Tanah Papua sebagai wilayah yang menjadi sumber eksploitasi bahan mentah mineral pertambangan membutuhkan kehadiran Industri.
Mengingat cadangan mineral emas-tembaga yang dikuasai PT. Freeport sangatlah besar, tentunya paket industri hilirisasi PT. Freeport akan semakin memberikan nilai tambah bagi Tanah Papua. Namun dengan catatan, jika industri hilirisasi tersebut di bangun diwilayah Tanah Papua, dan bukan di daerah lain.
Masuknya industri hilir pertambangan berupa pembangunan smelter, dapat mempercepat investasi dan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat akan mendorong perpindahan struktur produksi dan perdagangan di Tanah Papua.
Hadirnya industri hilir pertambangan dengan pendirian industri-industri baru, pemanfaatan sumber-sumber baru, pembukaan daerah-daerah baru, akan membuka kecenderungan baru yaitu meningkatkan lapangan kerja dan berkontribusi pada perekonomian lokal. Hadirnya Industri dalam suatu daerah akan mendorong produktifitas, kinerja dan pendapatan daerah.
Dibelahan lain teritorial wilayah Indonesia, pertumbuhan ekonomi yang berada pada level 5-7% begitu dinikmati oleh daerah-daerah tersebut dengan meningkatnya pendapatan masyarakat. Pertumbuhan sektor industri dan jasa begitu berpengaruh terhadap fundamental perekonomian suatu daerah.
Pengaruh pertumbuhan ekonomi yang di topang oleh kehadiran sejumlah industri strategis di beberapa daerah di Indonesia, dapat menciptakan lapangan pekerjaan yang cukup luas bagi angkatan kerja muda di daerah tersebut. Kebutuhan penyerapan angkatan kerja yang berskill khusus “dengan keahlian tertentu” mendorong putra-putri daerah untuk mengorientasikan pendidikan mereka kepada kebutuhan penyerapan angkatan kerja berbasis kompetensi Industri yang ada di daerahnya.
Memang di sadari dengan sepenuhnya, persoalan klasik dan kronik terkait angkatan kerja muda yang berpendidikan sekalipun, mengalamai persoalan dalam mengakses kebutuhan pasar kerja. Dengan hadirnya Industri di daerah, putra-putri daerah setidaknya memiliki orientasi pendidikan yang berbasis kebutuhan penyerapan kompetensi yang diperlukan.
Tidaklah bernar jika daerah terbelakang, sering dipandang tidak mampu untuk menyediakan sumber daya manusia yang kompetitif. Justru kemampuan adaptasi manusia tergantung pada kebutuhan dan tantangan yang diciptakan oleh lingkungannya, maka tidaklah mustahil manusia-manusia di Tanah Papua dapat menciptakan sendiri arus peradaban bagi daerahnyan sendiri, dengan melahirkan banyak engineering, tenaga ahli, dan manusia-manusia yang berkualitas yang dapat mengelola sendiri sumber daya alam yang sangat kaya di Tanah Papua.
Sebelum industrialisasi di negeri-negeri eropa dimulai, praktis kehidupan masyarakat eropa berada pada kondisi yang masih terbelakang. Namun Industrialisasi mempercepat proses peralihan masyarakat eropa dari bentuk masyarakat yang terbelakang, lalu menjadi masyarakat yang memimpin peradaban dunia hingga hari ini.
Sejumlah keunggulan komparatif yang berbasis pada etos kerja yang tinggi, disiplin waktu, efisien, kompetisi, berprestasi, orientasi ke masa depan, spesialisasi pekerjaan berdasarkan pendidikan, kerja keras, produktif, mandiri dan kreatif menjadi semacam karakter yang mencirikan masyarakat eropa setelah hadirnya era industrialisasi di wilayah eropa.
Industrialisasi sebagai proses dan pembangunan industri pada hakekatnya berfungsi meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan rakyat. Industrialisasi tidaklah terlepas dari upaya peningkatan mutu sumber daya manusia, dan pemanfaatan sumber daya alam.
Pembangunan smelter PT. Freeport dikategorikan sebagai Industri Pengahasil Bahan Baku “The Primary Raw Material Industries”. Tipe industri semacam ini menekankan aktivitas produksinya pada proses pengolahan sumber daya alam untuk menghasilkan bahan baku maupun bahan tambahan lainnya yang dibutuhkan oleh industri penghasil produk atau jasa.
Munculnya kawasan industri dalam suatu wilayah akan berdampak pada beberapa indikator yaitu 1) kehadiran industri dapat membuka lapangan kerja bagi penduduk setempat, 2) membuka lapangan kerja di bidang sektor informal, 3) menambah pendapatan asli daerah bagi daerah tersebut.
Hadirnya investasi yang berbasis pada pembangunan Industri, akan mendorong penggunaan sumber-sumber aktiva untuk menciptkan modal baru. Sejumlah dana yang dikeluarkan untuk investasi, dapat dibelanjakan untuk peralatan, bangunan, dan persedian. Sehingga dana yang dikeluarkan untuk investasi pembangunan industri dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap perekonomian.
Investasi Industri di Tanah Papua dapat menggerakkan pemanfaatan Sumber Daya Alam yang lebih efisien “tidak boros” dan dapat mendorong pengembangan Sumber Daya Manusia yang berbasis pada kebutuhan penyerapan angkatan kerja yang siap pakai bagi kebutuhan industri.
Rakyat di Tanah Papua tidak benar jika selalu di pandang tidak mampu untuk mengelola sumber daya alam yang dimilikinya, namun keberpihakan pemerintah pusat yang selama ini tidak memberikan kesempatan kepada rakyat di Tanah Papua untuk mengakses sumber-sumber produksi yang berbasis industri, yang menjadi masalah utamanya.

Hegemoni Pusat: Membangun Smelter PT. Freeport di Gresik, Menginjak Martabat Tanah Papua

Jakarta-papua
Senator Tanah Papua: Papua tidak terbantahkan lagi sebagai daerah yang kaya dengan sumber daya alam. Tambang emas-tembaga Freeport salah satu mercusuar kekayaan alam di Tanah Papua yang melimpah, selain sumber daya alam lainnya yang masih belum di eksploitasi “hidrokarbon dan hutan”. Perpanjangan kontrak PT. Freeport atas tambang emas-tembaga di Tanah Papua oleh Pemerintah Pusat, menambah daftar panjang hegemoni pusat atas Tanah Papua.
Rezim kontrak karya telah lama dicabut, karena dipandang tidak lagi sesuai dengan kepentingan nasional dan menciptakan kesenjangan/konflik bagi daerah penghasil yang selama ini menjadi objek eksploitasi sumber daya alam namun memiliki pendapatan yang hanya sedikit.
Kewenangan pusat yang terlampau besar dalam rezim kontrak karya, sering mengabaikan kepentingan daerah penghasil. Namun, sejak diberlakukannya rezim pertambangan minerba yang baru, sejak terbitnya UU No.4 Tahun 2009, kepentingan eksploitasi tambang emas-tembaga PT. Freeport di Tanah Papua masih saja mempertahankan hegemoni Pusat yang kuat atas sumber daya alam Papua.
Belum lama ini, klausul perpanjangan kontrak baru PT. Freeport yang rencananya akan di mulai pada tahun 2019, untuk masa waktu hingga tahun 2041 mendatang, di dominasi oleh kepentingan pemerintah pusat. Salah satu ketentuan dalam klausul yang akan di dorong adalah opsi pembangunan smelter PT. Freeport di daerah Gresik.
Klausul perpanjangan kontrak PT. Freeport yang di inisiasi oleh pemerintah pusat telah merampas kewenangan pemerintah daerah di Tanah Papua untuk memutuskan sendiri aktivitas pertambangan di wilayahnya. Ketentuan dalam rezim undang-undang minerba, memberikan hak dan kewenangan bagi pemerintah daerah untuk memberikan perizinan atas setiap kegiatan eksplorasi dan operasi produksi pertambangan di wilayah administrasinya, termasuk perizinan untuk pembangunan smelter.
Dengan lahirnya keputusan untuk membangun smelter PT. Freeport di luar Tanah Papua, hal tersebut telah menghina rakyat di Tanah Papua, seolah-olah wilayah Papua tidak pantas untuk dijadikan lokasi pembangunan smelter. Padahal sumber daya alam yang dihabiskan berasal dari Tanah Papua, bukan dari daerah Gresik.
Dengan alasan apapun, Pemerintah Pusat tidak boleh membangun smelter PT. Freeport di luar Tanah Papua, sebab daerah Papua masih membutuhkan banyak kehadiran investasi yang berbasis pembangunan industri, termasuk industri hilir pertambangan emas-tembaga yang diharapkan dapat mendorong banyak pembangunan di Tanah Papua.
Rencana pembangunan smelter di wilayah Gresik, hanya akan semakin memperpadat pulau Jawa dengan pusat-pusat industri dengan kategori Giant Capital. Disisi lain, Pusat hanya menyisakan bagi Tanah Papua warisan kerusakan alam, konflik dan sasaran utama eksploitasi bahan mentah serta pengerukan sumber daya alam.
Efek multisektoral dari hilirisasi pertambangan akan menstimulasi pertumbuhan berbagai sektor lainnya yang ada diluar sektor pertambangan. Misalkan hilirisasi pertambangan dapat mendorong tumbuhnya sektor jasa, penyerapan tenaga kerja, pembangunan infrastruktur disekitar kawasan smelter, dan partisipasi kontraktor lokal Papua dalam suplly chain.
Pembangunan hilirisasi industri pertambangan dapat melindungi ketersediaan sumber daya mineral yang bersifat tidak terbarukan di Tanah Papua. Rezim pengelolaan sumber daya pertambangan yang hanya mengirim material mentah “bukan konsetrat” hasil pengolahan hanya akan mempercepat habisnya sumber daya alam di Tanah Papua.

Pelantikan Presiden: Militer Masuk DPR-MPR, Situasi Tidak Nyaman

militer
Senator Tanah Papua: Suasana serah terima estafet kepresidenan yang diharapkan berjalan sebagai sebuah peristiwa yang menggembirakan dan menyenangkan, ternyata tidak tampak di gedung DPR-MPR. Pada pukul 08.00 pagi hari ini (Senin, 20/10/2014), aparat bersenjata lengkap memenuhi sudut-sudut halaman gedung DPR dan gedung utama pelantikan kepresidenan.
Berbeda dengan pelantikan anggota DPR, DPD dan MPR pada tanggal 1 Oktober yang lalu, kali ini tampak kondisi pengamanan yang serba ketat. Dimana-mana dapat disaksikan sejumlah aparat keamanan dalam posisi siaga.
Terlihat pula beberapa unit kendaraan operasional TNI yang turut meramaikan pengamanan di halaman gedung DPR-MPR. Terlihat begitu banyak anggota berpakaian loreng hijau, memenuhi beberapa sudut halaman gedung DPR-MPR.
Tampak pula sejumlah aparat bersenjata lengkap, dilengkapi senjata laras panjang dan beberapa sniper yang tampak berjaga-jaga di masing-masing pos pengamanan.
Gambaran yang justru tersaji dari ketatnya pengamanan pelantikan presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla, tidak menunjukkan sebuah event yang dipenuhi rasa suka cita dan suasana yang penuh damai.
Kesan yang ditimbulkan dari banyaknya aparat yang diturunkan dalam sesi pelantikan presiden kali ini justru menyajikan suasana adanya ancaman yang luar biasa yang perlu diwaspadai dengan menurunkan aparat bersenjata lengkap.
Kehadiran TNI dalam gedung DPR-MPR menjadi pertanyaan besar, apakah aparat kepolisian tidak sanggup menjalankan fungsi pengamanan saat prosesi pelantikan berlangsung. Kondisi di DPR-MPR pun saat ini tidak dibanjiri oleh pengunjuk rasa atau demonstran yang dapat mengganggu kelancaran prosesi serah terima jabatan kepresidenan pada hari ini. Mengapa pengamanan ultra ketat di lakukan pada hari ini.
Rakyat yang bersuka cita tentunya tidaklah berniat untuk mengacaukan pelantikan, jika mereka ternyata berbondong-bondong datang ke gedung DPR-MPR tentunya hanya untuk menyaksikan prosesi pelantikan presiden republik yang baru.
Seperti sebuah tabiat lama yang tidak mudah untuk dihilangkan dari negeri ini, watak penciptaan kondisi darurat selalu di monopoli oleh pendekatan konflik dan militeristik. Apakah gambaran ini pula sebagai refleksi atas sikap negara selama ini memperlakukan rakyatnya sendiri dengan dalih menciptakan kondisi aman dan terkendali.
Begitu banyak konflik di negeri ini yang terus di ciptakan berulang-ulang, dengan modus konflik dan penciptaan kondisi keamanan semu. Padahal yang justru terjadi adalah penciptaan rasa tidak aman dan nyaman di tengah-tengah rakyat dan bangsa sendiri.
Rakyat sudah bosan dengan pendekatan serba militeristik yang dibangun dari arsitektur mindset yang serba paranoid.

Capaian dan Harapan Mahasiswa Asal Tanah Papua 10 Tahun SBY Memimpin Indonesia

agus kusai-2
Senator Tanah Papua: Sejumlah tokoh dari Tanah Papua menempatkan kepemimpinan SBY kedalam figur yang dipandang memberikan ketauladanan kepemimpinan dengan karakter wisdom. Di era demokrasi yang serba kebablasan, setiap orang dapat mengkritik dan menyoroti masalah pribadi setiap pemimpin. Dengan ketenangan yang dimiliki oleh SBY dalam mengendalikan diri, perjalanan kepemimpinan SBY sampai pada penghujung pemerintahan yang ditandai dengan penyerahan estafet kepemimpinan yang berjalan harmonis.
Hadirnya pemerintahan baru yang ditandai dengan serah terima jabatan dalam acara kenegaraan secara resmi, melalui sidang paripurna DPR secara terhormat, adalah salah satu tradisi baru dalam sejarah kepemimpinan nasional.
Diberbagai belahan dunia, negara-negara yang mengalami konflik politik antar elit yang berkuasa, umumnya menjurus pada perpecahan bangsa. Namun kondisi demikian tidak terjadi di negeri kita tercinta. SBY selama ini sanggup menahan diri untuk tidak tergiur menggunakan kekuatan kekuasaan dengan sewenang-wenang untuk mengintervensi setiap pihak yang berseberangan dengan dirinya.
Dampak konflik elit yang dibungkus dengan perseteruan politik, dapat menguras energi “seluruh sumber daya” negeri yang kaya ini, sehingga setiap upaya pembangunan tidak akan berhasil di wujudkan, karena konflik politik menyandera kepemimpinan nasional dan menghambat pembangunan. Pada akhirnya setiap upaya yang dilakukan tidak dapat mengangkat posisi negara ke level kemandirian bangsa.
Rekan-rekan mahasiswa asal Tanah Papua bersikap atas capaian SBY dalam memimpin pemerintahan selama 10 tahun. Agus Kusai, mahasiswa asal Tanah Papua, pada semester akhir di Universitas Kristen Indonesia (UKI) menceritakan bahwa apa yang dirasakan oleh masyarakat di Tanah Papua selama 10 tahun terakhir dalam segala aspek jauh membaik jika dibandingkan era pemerintahan sebelumnya.
Ruang demokrasi selama masa kepemimpinan SBY dipandang sangat positif, menurut Agus Kusai terdapat situasi berbeda yang dirasakan oleh masyarakat asli Tanah Papua, dalam aspek penegakan kehidupan demokrasi.
Kristian Madai yang juga tercatat sebagai mahasiwa UKI, semester 8, menambahkan terdapat hal positif yang terjadi di era pemerintahan SBY, dimana terjadi penguatan kelembagaan seperti KPK, BPK, PPATK, MK, KPU, DKPP, dan lain-lainnya, yang dipandang sebagai sesuatu yang luar biasa dan menjadi hal yang benar-benar baru di negeri ini. Kehidupan demokrasi terlihat berjalan meskipun terdapat kekurangan di sana sini, namun masih lebih baik dibanding era sebelumnya.
Namun dalam pandangan seorang Agus Kusai, yang menjabat sebagai Ketua DPW Asosiasi Pegunungan Tengah Papua, memberikan catatan khusus terkait pendekatan pemerintah pusat selama ini terhadap persoalan di Tanah Papua. Sejak rezim orde baru berkuasa, pemerintah pusat menempatkan persoalan di Tanah Papua kedalam posisi darurat militer.
Watak militeristik tersebut belum sepenuhnya menghilang hingga hari ini. Terdapat dualisme pendekatan yang digunakan oleh pemerintah pusat di Tanah Papua dalam menjawab tuntutan rakyat. Pendekatan pertama yaitu melalui mimbar publik, pemerintah pusat mengirimkan pesan rekonsiliasi persoalan papua kedalam posisi damai.
Namun dalam waktu yang bersamaan terdapat operasi senyap, operasi diam-diam, yang berbau militeristik, untuk menekan hak-hak demokrasi masyarakat sipil di Tanah Papua. Menurut Agus Kusai terdapat pihak-phak tertentu yang dengan sengaja melaksanakan operasi senyap itu di Tanah Papua.
Pendekatan militeristik di Tanah Papua, menurut Agus Kusai harus segera dihentikan, karena tidak menyelesaikan masalah, justru yang terjadi adalah penguatan simpul-simpul kebencian diantara masyarakat asli di Tanah Papua terhadap negara.
Pendekatan kecurigaan terhadap setiap aktivitas yang menuntut perbaikan kondisi di Tanah Papua dimanfaatkan oleh pihak tertentu dengan melanggengkan kekuatan militer dengan bisnis militer yang selama ini telah banyak memberikan keuntungan bagi pemilik modal asing di Tanah Papua. Service dari penjaga keamanan seperti TNI dan Kepolisian memenuhi kantong-kantong bisnis besar di Tanah Papua.
Ruang komunikasi harusnya menjadi pintu masuk pendekatan yang mengedepankan hati, dan berpandangan konstruktif dalam membangun Tanah Papua. Tidak ada tempat bagi setiap tindakan represif di Tanah Papua. Segala upaya yang dengan sengaja menciptakan konflik harus segera di hentikan.
Agus Kusai pun menambahkan dalam masa detik-detik menjelang pergantian pemerintahan di Jakarta, situasi di Papua saat ini turut mendapatkan pengaruh. Entah by design ataupun muncul secara kebetulan, kondisi di Tanah Papua menjadi begitu menegangkan. Dalam beberapa kegiatan di lingkungan masyarakat akhir-akhir ini mendapatkan pengawasan yang cukup serius oleh aparat. Aktivitas kumpul-kumpul yang dilakukan oleh warga langsung di curigai oleh aparat kemanan sebagai kegiatan yang membahayakan, dan berimplikasi pada penangkapan sejumlah orang.

Perjuangan Bebas HIV/AIDS di Tanah Papua

Bahu membahu bebaskan HIV-3
Senator Tanah Papua: Perjuangan untuk membebaskan masyarakat asli Papua dari cengkeraman penyakit HIV/AIDS mendapatkan tantangan yang begitu kompleks. Untuk mewujudkan visi tersebut, Willem Wandik S. Sos menginisiasi perjuangan melalui pendirian Lembaga Penanggulangan HIV/AIDS Kabupaten Tolikara Provinsi Papua.
Seorang dokter yang berdarah Afrika-Amerika, dr. Agnella yang mendedikasikan hidupnya untuk bekerja dalam misi kemanusiaan di Tanah Papua pada awal pengabdiannya bekerja dalam pelayanan Gereja GKI yang bertempat di Ibu Kota Provinsi Papua, lalu semakin mendapatkan peran lebih luas setelah di dorong oleh bapak Willem Wandik, S. Sos untuk terlibat dalam aktivitas penanggulangan HIV/AIDS di wilayah pegunungan tengah, terutama di Kabupaten Tolikara.
Pihak gereja GKI berperan sangat besar selama 10 tahun terakhir, termasuk mengawali untuk pertama kali gerakan penanggulangan HIV/AIDS oleh lembaga Non-Pemerintah, termasuk upaya mendatangkan dr. Agnella ke Provinsi Papua dalam misi kemanusian.
Dokter yang sangat ramah ini membagi pengalaman berharganya selama 10 tahun mendampingi para penderita HIV/AIDS sampai ke pedalaman Tanah Papua. Dengan terbuka dr. Agnella menerangkan bahwa persoalan HIV/AIDS yang di alami oleh masyarakat asli di Tanah Papua begitu memprihatinkan.
Para tetua adat merasa bersedih menyaksikan anak keturunan mereka meninggal dunia di hadapan mereka sendiri karena penyakit ini. Sehingga mendorong komunitas masyarakat adat turut terlibat dalam upaya mengendalikan penyebaran penyakit HIV/AIDS di Tanah Papua.
Salah satu keberhasilan yang dipandang baik oleh dr. Agnella adalah terdapat beberapa Ibu positif HIV, mengandung dan melahirkan anak dalam kondisi sehat tanpa mengidap penyakit HIV/AIDS. Hal ini berkat pengawasan dan treatmen yang diberikan selama masa kehamilan dan persalinan yang diberikan pada Ibu-Ibu penderita HIV. Namun tidak jarang banyak dari Ibu-Ibu yang masih kurang beruntung, karena terlambat atau tidak sama sekali mendapatkan bantuan selama kehamilan/persalinan.
Hambatan nyata upaya menyelamatkan generasi di Tanah Papua dari ancaman dan bahaya HIV/AIDS diantaranya disebabkan oleh permasalahan jangkauan jaringan fasilitas pelayanan kesehatan yang masih tidak bisa mengakses pelayanan kesehatan sampai ke rumah-rumah masyarakat yang terjangkit penyakit HIV/AIDS yang berada jauh di daerah pedalaman.
Saat ini dengan keterbatasan dokter dan petugas kesehatan lainnya, pelayanan pengobatan HIV/AIDS masih terpusat di pelayanan gereja. Fokus kegiatan dr. Agnella dan kawan-kawan voluntary masih terbatas pada kegiatan pengkaderan para pelayan gereja untuk menjadi kader yang turut mengawasi pengobatan pasien HIV/AIDS.
Masalah HIV/AIDS juga diperparah dengan hadirnya penyakit penyerta lainnya (co-infeksi) seperti TBC dan Malaria. Lazim terjadi di kalangan pasien yang menderita HIV/AIDS juga menderita penyakit TBC/Malaria. Prognosis pengobatan selama masa hidup akan semakin buruk jika penyakit co-infeksi ini tidak tertangani dengan baik.
Ciri-ciri TBC sebagai penyakit yang ditularkan melalui “droplet infeksius” menjadikan penyakit ini mudah menyebar di komunitas masyarakat asli di Tanah Papua. Karakteristik masyarakat di Tanah Papua yang masih memegang tradisi hidup secara komunal, kekeluargaan, dan kebersamaan, menjadikan penyakit TBC mudah menyebar di internal komunitas masyarakat asli.
Masalah lainnya yang juga di hadapi oleh masyarakat asli di Tanah Papua, adalah persoalan medikasi “obat-obatan” yang masih banyak mendapat kendala, karena berbelit-belitnya birokrasi.
Harapan akan hadirnya perbaikan status HIV/AIDS di Tanah Papua akan terus di perjuangkan melalui Lembaga Penanggulangan HIV/AIDS Kabupaten Tolikara Provinsi Papua yang didirikan oleh Bapak Willem Wandik, S. Sos bersama para voluntary dan dr. Agnella yang tidak kenal lelah untuk membebaskan masyarakat “indigenous” Tanah Papua dari penyakit HIV/AIDS.
Peran Gereja sangat besar terhadap upaya penanggulangan HIV/AIDS selain peran pemerintah daerah di Tanah Papua. Puji Tuhan, Gereja GKI telah banyak berbuat untuk mensukseskan program penanggulangan HIV/AIDS di Tanah Papua, dan menginspirasi gerakan lembaga-lembaga yang di bentuk oleh masyarakat termasuk apa yang telah di dirikan oleh Bapak Willem Wandik, S. Sos di Kabupaten Tolikara pada hari ini.

Willem Wandik: (Terimakasih SBY) Dampak Nyata Program Pro Rakyat SBY di Tanah Papua

SBY Pro Rakyat-3
Senator Tanah Papua – Program Pro Rakyat merupakan program prioritas yang menjadi ciri khas Pemerintahan Presiden SBY. Progam ini didasarkan pada kondisi nyata kehidupan masyarakat khususnya kalangan kurang mampu agar kehidupannya semakin sejahtera, sekaligus mempercepat pengurangan kemiskinan dan pengangguran di Indonesia.
Bagi masyarakat di Tanah Papua, Program Pro Rakyat yang di gulirkan semasa pemerintahan SBY dirasakan sangat membantu dalam upaya pengurangan kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat di Tanah Papua.
Diantara Program Pro Rakyat yang dirasakan sangat bermanfaat bagi masyarakat di Tanah Papua antaralain Program Raskin (Beras untuk Rumah Tangga Miskin). Sebagai contoh pada tahun 2013 penetapan Rumah Tangga Sasaran (RTS) penerima raskin di Kabupaten Mimika sebanyak 25.306 RTS, dengan total alokasi raskin sebanyak 379.590 kg per bulan atau per tahun mencapai 4.555.080 kg. Program bantuan raskin dirasakan sangat bermanfaat bagi perbaikan gizi keluarga dari kelompok keluarga yang tergolong tidak mampu.
Bantuan Raskin bagi Rumah Tangga Sasaran (RTS) dengan besaran 15 kg per bulan mungkin dirasakan sangat kecil dan tidak berarti apa-apa bagi kelompok masyarakat yang terbilang mampu, namun bantuan ini sangat dibutuhkan oleh rumah tangga miskin yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-harinya.
Selanjutnya adalah Program Keluarga Harapan (PKH) yang diberikan kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM). Bantuan PKH diberikan kepada keluarga sangat miskin dengan syarat memiliki ibu hamil/menyusui, memiliki balita serta anak sekolah usia SD-SMP. Realisasi program ini di Provinsi Papua terbilang sangat membantu meringankan beban ekonomi rumah tangga yang sangat miskin, dimana sebagai contoh di Kota Jayapura, jumlah penerima bantuan RTSM sebanyak 4.887 dan jumlah anggota rumah tangga 10.958 orang dengan dana sebesar  Rp 1,7 miliar lebih.
Selain itu, terdapat pula program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang berperan dalam membantu banyak siswa SD dan SMP untuk bisa mengenyam pendidikan di Tanah Papua tanpa harus memikirkan biaya sekolah, termasuk buku pelajaran dan kegiatan ekstrakurikuler. Di Tanah Papua sendiri, program BOS yang terealisasi pada tahun 2014 yang terdiri dari Rp 345 miliar dengan menyasar daerah terpencil di Provinsi Papua dan sebesar Rp 124 miliar untuk daerah tidak terpencil di Provinsi Papua Barat.
Lebih lanjut lagi, di era pemerintahan SBY atensi terhadap Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dirasakan sangat membantu pelayanan kesehatan gratis di Tanah Papua, terutama ditujukan bagi kalangan kurang mampu ini bisa terlaksana melalui Program Askeskin (Asuransi Kesehatan Keluarga Miskin) yang kemudian disempurnakan dengan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Persalinan (Jampersal). Di Tanah Papua sendiri, pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) terdiri dari peserta askes sosial di Provinsi Papua sebanyak 186.013 jiwa, peserta Jamkesmas sebanyak 2.833.381 jiwa dan peserta PJKMU sebanyak  10.000 jiwa.
Pemerintahan SBY juga memperhatikan para penyandang cacat berat di Tanah Papua dengan memberikan bantuan uang tunai. Bantuan ini diberikan dengan menyasar penyandang cacat berat dengan derajat kecacatan yang tidak dapat direhabilitasi baik secara medis maupun sosial serta aktivitas kehidupan sehari-harinya sangat tergantung kepada bantuan orang lain. Kondisi penyandang cacat di Provinsi Papua sendiri terbilang cukup banyak, sebagai contoh di wilayah kerja Dinas Sosial Kota jayapura, jumlah penyandang cacat mencapai 700 orang  masing masing untuk usia anak sebanyak 3000 orang dan selebihnya adalah orang dewasa. Berdasarkan pagu anggaran yang disediakan oleh pemerintahan SBY, besaran dana bantuan mencapai Rp 300 ribu, namun di Provinsi Papua bantuan tersebut dapat mencapai Rp 800 ribu per orang.
Salah satu program unggulan pemerintahan SBY yang dirasakan cukup luas pengaruhnya bagi masyarakat di Tanah Papua adalah program PNPM Mandiri. Program ini merupakan Program Pro Rakyat Klaster 2 yang bertujuan memberdayakan masyarakat khususnya di perdesaan. Masyarakat desa diberikan keleluasaan untuk menentukan infrastruktur apa saja yang akan dibangun, sekaligus masyarakat juga yang melaksanakan dan menikmati hasil pembangunannya. Realisasi program PNPM Mandiri di Tanah Papua, dapat dilihat pada contoh Bantuan PNPM Mandiri di Kota Jayapura pada tahun 2013 pada lima Kecamatan senilai Rp 7 miliar lebih dan bantuan PNPM Mandiri di Kabupaten Jayapura untuk 19 Kecamatan sebesar Rp 30 miliar lebih.
Bantuan program lainnya adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang merupakan Program Pro Rakyat Klaster 3, yang bertujuan membantu usaha kecil dalam mengakses permodalan dari perbankan. KUR diluncurkan Presiden SBY pada tahun 2007 dan hingga kini terus diperluas dan ditingkatkan baik dari sisi jumlah kredit yang disalurkan maupun bank penyalur. Manfaat program KUR di Tanah Papua dirasakan terutama dalam menumbuhkan sektor usaha kecil dan menengah, sebagai contoh pada tahun 2014 total plafon anggaran yang disediakan untuk KUR khususnya Bank BRI Cabang Sorong, Papua, menyediakan dana kredit KUR sebesar Rp102 miliar yang terbagi dari KUR Mikro sebesar Rp 49 miliar dan KUR Ritel sebesar Rp 53 miliar. Total realisasi KUR sampai Agustus Rp 91 miliar dengan NPL sekitar 2,29 persen.
Selain program-program yang disebutkan di atas, masih banyak lagi contoh nyata program pemerintahan SBY dalam kurun waktu 10 tahun terakhir yang begitu bermanfaat dirasakan oleh masyarakat di Tanah Papua. Tanpa terasa berlebihan mengungkit kelemahan SBY sebagai insan manusia biasa yang tampak tidak sempurna, tentunya berbagai keberhasilan “prestasi” yang dapat dicapai semasa pemerintahan SBY patut dinilai sebagai sebuah prestasi nyata.
Satu hal lagi yang patut di syukuri oleh segenap rakyat Indonesia, beban pemerintahan baru di era Jokowi-JK secara finansial akan sangat terbantu dengan di deklarasikannya Indonesia sebagai negara yang telah membayar lunas utang luar negerinya kepada International Monetary Fund (IMF).
Prestasi ini merupakan angin segar dan warisan kesuksesan pemerintahan SBY kepada generasi pemimpin nasional berikutnya, dimana pemerintahan berikutnya tidak dapat lagi disetir oleh kebijakan-kebijakan IMF yang selama ini selalu menyandera Indonesia.

Willem Wandik: Otsus Plus Sebagai Jawaban Social Justice bagi Tanah Papua

kegagalan Otsus-3
Senator Tanah Papua – Status otonomi khusus bagi Tanah Papua telah berjalan 13 tahun lamanya, namun persoalan mendasar terkait kemiskinan, keterisolasian, ketertinggalan, diskriminasi, pelanggaran HAM, masih saja terus membayangi kehidupan rakyat di Tanah Papua.
Status sebagai daerah yang memperoleh otonomi khusus dari pemerintah pusat, dengan terbitnya UU No.21 Tahun 2001 dipandang telah gagal merumuskan “definisi otsus” karena tersandera oleh kompromi-kompromi politik dan kepentingan pemerintah pusat.
Sejumlah aspirasi dan usulan dari grassroots “rakyat dan tokoh-tokoh di Tanah Papua” pada saat kajian otsus di inisiasi dalam pembentukan UU No.21 Tahun 2001, berubah secara substansi ketika masuk dalam agenda prolegnas pada saat itu.
Otsus plus hadir pada saat ini sebagai sintesa atas kegagalan otsus “versi UU No.21 Tahun 2001” untuk memecahkan pekerjaan rumah besar yang secara substansi dikehendaki oleh rakyat dan tokoh-tokoh di Tanah Papua.
Unsur kecurigaan begitu besar hadir pada sisi pemeritah pusat ketika rakyat di Tanah Papua bersuara untuk meminta hak-hak privilege terkait kekhususan yang sejatinya telah di sepakati bersama secara konstitusional oleh Pemerintah Pusat.
Sikap paranoid dan apatis bermunculan di sela-sela rakyat di Tanah Papua berusaha memperjuangkan hak-hak “kekhususan” yang dirasa masih sangat jauh dari realitas yang dirasakan “social justice“.
Pendekatan kecurigaan pemerintah pusat kepada perjuangan rakyat di Tanah Papua, masih mengindikasikan adanya persoalan kebangsaan yang belum tuntas dan tentunya dipandang mencederai hak-hak kekhususan di Tanah Papua.
Jika konsensus terkait Negara Kesatuan Republik Indonesia “NKRI” telah tuntas, maka tidak perlu hadir resistensi yang dipandang serius perihal tuntutan rakyat di Tanah Papua untuk memperoleh posisi yang equal “sama derajat” dengan apa yang telah diberikan kepada Daerah Istimewa Aceh dan Daerah Istimewa Jogjakarta.
Instrumen keadilan yang dipandang masih kurang dan banyak menuai masalah di Tanah Papua meliputi permasalahan demografi, penguasaan lahan dan pertambangan, pendidikan, kesehatan, human rights violence, permasalahan kawasan pasifik, struktur pemerintahan, penerimaan daerah, pemekaran daerah, pemilukada, dan partai politik lokal.
Dalam rancangan Otsus Plus terdapat pasal-pasal yang merekonstruksi kembali susunan hak dan kewajiban secara subtansial, yang tertuang dalam regulasi secara komprehensif yang bertujuan untuk memperkuat peran masyarakat “indigenous” Tanah Papua terhadap sejumlah persoalan yang dipandang serius untuk dirumuskan kembali.
Resolusi yang tertuang dalam otsus plus merupakan refleksi berbagai persoalan yang dipandang belum tuntas semenjak rancangan otsus bagi Tanah Papua di rumuskan dalam kurun waktu 13 tahun silam.
Pemerintah pusat tidak perlu bersikap berlebihan “paranoid” dengan memandang gerakan mendorong di syahkan-nya otsus plus, sebagai sebuah ancaman terhadap prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia “NKRI”.
Hubungan yang di dasarkan pada saling curiga akan melanggengkan konflik dan kekerasan yang tidak berkesudahan di Tanah Papua. Dengan kata nurani dan bisikan kebenaran, seyogyanya pemerintah pusat menghadirkan sikap dan tindakan yang menjalin hubungan yang konstruktif dan solutif.
Rakyat di Tanah Papua belum sepenuhnya dapat percaya dengan keinginan baik pemerintah pusat, selama kesenjangan yang dirasakan dalam realitas kehidupan masyarakat di Tanah Papua belum terpecahkan.
Buanglah rasa curiga dan pandangan yang dipandang selalu memusuhi setiap suara/aspirasi dan keinginan dari rakyat di Tanah Papua untuk benar-benar memperoleh keadilan sosial yang dipandang belum bersua di Tanah Papua.
Jangan halangi dan musuhi niat baik warga bangsa di Tanah Papua untuk memperoleh hak-hak kehususan yang sejatinya pantas di terima oleh rakyat “indigenous” di Tanah Papua, dengan hadirnya Otsus Plus.

Willem Wandik: 10 Tahun SBY Memimpin Indonesia dengan Wisdom

Baliho Terimakasih SBY-7
Senator Tanah Papua – Tanggal 20 Oktober mendatang sebagai babak baru pergantian kepemimpinan nasional. Belum pernah terjadi dalam sejarah bangsa ini, pergantian kepemimpinan nasional terlaksana dengan suasana yang penuh persahabatan antara dua pucuk pemimpin nasional.
Presiden SBY yang akan mengakhiri masa purna tugasnya, memberikan ruang yang begitu besar bagi presiden terpilih 2014-2019, Joko Widodo untuk merumuskan rencana kerja dan mengakses berbagai informasi strategis terkait pemerintahan pada masa SBY menjabat sebagai presiden.
Sejarah baru terbentuk dimana transisi pemerintahan berlangsung secara damai dengan terbangunnya komunikasi yang konstruktif diantara pemimpin bangsa. Gaya komunikasi SBY yang cenderung akomodatif dan santun, menjadi kunci mulusnya transisi estafet pemerintahan saat ini.
Dalam kehidupan politik, SBY dipandang mampu menjaga dan memelihara tensi politik di masa pemerintahannya tanpa terpancing untuk menggunakan kekuasaan “abuse of power” dalam rangka menciptakan stabilitas politik seperti yang terjadi pada era orde baru.
Huru-hara perpolitikan nasional sepanjang 10 tahun SBY memimpin pemerintahan, tidak pernah menciptakan perseteruan politik yang mengarah pada konflik yang serius. Stabilitas politik menjadi salah satu kunci kesuksesan yang menandai keberhasilan SBY menciptakan pemerintahan yang efektif, tanpa harus terjebak pada pendekatan militeristik dan represif.
Dalam upaya penegakan supremasi pemerintahan yang bersih, SBY menjalankannya dengan tanpa kompromi. Terhitung beberapa legislator dari partainya sendiri turut menjadi pesakitan di KPK, berkat sikap SBY yang tidak kompromi dengan persoalan korupsi. SBY boleh saja menggunakan kekuasaannya untuk melindungi kepentingan afiliasi politiknya, namun lagi lagi SBY memilih jalan yang konsisten dengan prinsip dan keyakinannya untuk menjadi panglima terdepan dalam upaya memerangi korupsi di negeri ini.
Terlepas dari segala kelemahan SBY sebagai insan manusia biasa, sebagai warga negara yang mendedikasikan hidupnya selama 10 tahun terakhir dalam pengabdian kepada rakyat, bangsa dan negara. Tentunya kita patut berterimakasih atas sumbangsih pemikiran dan kerja yang tanpa lelah dengan menghadirkan kondisi kedamaian, kesejukan politik, yang dirasakan begitu sangat berbeda dibandingkan kondisi pada awal-awal reformasi bergulir 16 tahun silam.
Bagi masyarakat di Tanah Papua, terdapat kondisi yang jauh berbeda dirasakan semenjak SBY memimpin negeri ini. Rakyat di Tanah Papua merasakan adanya atensi pemerintah terkait kebebasan rakyat sipil di Tanah Papua, hak hak politik, pengakuan hak adat, perlindungan terhadap “human rights” dan perjuangan mencapai tujuan keadilan sosial “social justice” bagi rakyat di tanah papua.
Pengalaman pahit menjadi rakyat yang termarginalkan sepanjang perjalanan republik ini dirasakan betul oleh rakyat di Tanah Papua, karena paradigma pemerintah selalu menggunakan pendekatan konflik dalam menanggapi kompleksitas persoalan di tanah papua. Pendekatan konflik tersebut terasa begitu berubah semenjak SBY mulai memimpin negeri ini, dan masyarakat di Tanah Papua seolah olah memperoleh ruang kebebasan yang begitu luas untuk berperan lebih banyak dalam mengakses pemerintahan.
Terasa singkat 10 tahun lamanya SBY memimpin negeri ini, dengan segala karunia dan berkat yang telah diterima oleh rakyat di Tanah Papua, karena wisdom kepemimpinan yang di tunjukkan oleh SBY dalam menjalankan mandat rakyat dengan kerja keras dan kesantunan yang menjadi “trendsetter” kepemimpinan SBY selama

Komentar

Postingan populer dari blog ini

INFORMASI PENERIMAAN ONLINE MAHASISWA BARU 2017-2018

Kali ini saya akan posting. mengenai suku suku kanibal.